Tangerine serta Tangisan yang Tidak Kunjung Berakhir: Mengenai Masa Kecewek Yang Tiada Kesempurnaan
Baru-baru ini putri saya mengajak saya untuk menyaksikan seri “When Life Gives You Lemons”. Sebenarnya, beberapa hari sebelumnya ketika saya menjelajahi media sosial, feed-ku penuh dengan cuplikan adegan dari film yang diperankan oleh IU dan Park Bo Gum tersebut. Tak hanya itu, banyak juga pembicaraan tentang film ini di kalangan teman-teman saya, termasuk kutipannya. Dengan demikian, kesimpulanku adalah bahwa film ini tampak seperti sebuah karya yang mempesona namun melankolis, sementara masih terkait erat dengan realitas kehidupan kita sehari-hari.
Setelah selesai menyaksikan seri tersebut, ternyata film itu mirip dengan pukulan ringan yang menusuk tepat ke jantung. Tak berisik atau mencolok, tetapi meninggalkan rasa sakit yang secara perlahan meluas. Di antara segudang pengajaran yang disampaikan, terdapat sebuah tema utama yang muncul: masa depan yang hilang.
Sebenarnya apa yang berlangsung? Kenapa sebuah film biasa saja dapat mengundang kesedihan bagi begitu banyak penonton?
Bukan Sekadar Tangerine
Tangerine, buah kecil berrasa manis dan asam, bertindak sebagai metafora yang mendalam di dalam film tersebut. Buah ini muncul tidak hanya sebagai objek tetapi juga sebagai lambang dari masa kecil yang selalu terfragmentasi.
Waktu muda yang idealnya diisi dengan kasih sayang, belaian hangat, dan pemahaman; tetapi untuk banyak orang di antara kita, malahan dipenuhi oleh lukanya trauma yang sulit diceritakan.
Film ini seolah membongkar lukanya yang telah lama terpendam. Orang-orang dari beragam latar belakang tiba-tiba menyadari bahwa film tersebut tidak lagi sekadar khayalan. Ini merupakan kenyataan hidup mereka yang sudah bertahun-tahun disembunyikan.
Kehidupan Muda yang Tak Senantiasa Manis
Dalam masyarakat kita, terdapat pandangan bahwa tahap anak-anak merupakan periode tersenang dalam hidup. Akan tetapi, beberapa individu mengalami masa kanak-kanak sebagai suatu labirin suram yang menantikan untuk dilepaskan.
Orang-orang yang diupayakan dalam suasana sulit, dipenuhi dengan harapan tinggi, atau bahkan kekerasan, tanpa adanya cinta serta absennya figur orang tua, sering kali mengalami luka batin yang tidak kelihatan.
Tidak setiap individu memiliki ingatan tentang cerita rakyat dibacakan pada malam hari. Tak semua orang mengingat momen bermain bebas di petang hari sambil dipandangi dengan senyuman hangat sang ibu, atau digoda kepala mereka, diberi semangat, didorong untuk mundur bila merasa kesulitan oleh ayah yang selalu siaga memberikan dukungan dari belakang.
Banyak orang malahan mengenangkan suara keras, pintu digeret dengan kasar, atau kesunyian yang membuat bulu kuduk berdiri saat sedang makan bersama, lenyapnya figur ibu maupun ayah, kurangnya dukungan serta penghargaan, dan perasaan sepi ketika harus menjalani hidup.
Film ini menjejakkan pembukaan pintu menuju ruangan tersebut. Ruangan yang telah lama kita kunci erat-erat, khawatir bila dibuka, kita mungkin akan runtuh.
Sedih Yang Tidak Pernah Berakhir
Hal yang paling menusuk jantung dari kejadian ini adalah pemahaman bersama bahwa sebagian besar dari kita masih belum sepenuhnya sembuh.
Kami bertumbuh menjadi orang dewasa, melengkapi pendidikan kami, dan mengembangkan karir, serta mungkin mendirikan rumah tangga. Namun, sebagian dari diri kita masih tertinggal pada usia lima atau tujuh tahun—saat kita pertama kali merasakan kesepian, penolakan, atau tidak diperhatikan.
Air mata tersebut barangkali sudah tidak terdengar lagi, namun tetap masih ada. Terkadang timbul sebagai cemas berlebihan, perfeksionisme tinggi, atau kesepian tanpa penjelasan pasti. Tangisan yang tiada akhir, sebab belum pernah betul-betul disimak dengan baik.
Ruang untuk Berdamai
Bisa jadi kita tak dapat merubah kejadian di masa lampau. Namun, kita berpotensi membuat tempat bagi penyembuhan, pengampunan, serta penerimaan.
Movie ini tak sekadar mengingatkan tentang luka yang pernah dialami, tetapi juga mendorong kita untuk memeluk diri sendiri dengan penuh kasih sayang.
Kita dapat memulainya dengan langkah-langkah mudah: mengakui rasa sedih yang ada dalam hati, mendengarkan kisah orang lain tanpa menjudinya, memberikan pujian kepada anak-anak di lingkungan kita, atau mungkin juga menulis sepucuk surat untuk versi kecil diri sendiri, yang dahulu cuma berharap dipahami.
Meskipun masa kecil kita tidak selalu sempurna, hal itu tidak mengartikan bahwa kita tidak dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang lengkap dan berhak merasakan kebahagiaan.
Tangerine hanyalah buah kecil. Tapi film ini menunjukkan betapa besar maknanya ketika ia hadir di tengah hati yang rapuh dan menyadarkan apa yang selama ini kita paksa simpan. Dan mungkin, hari ini kita tidak butuh solusi besar.
Kita hanya butuh seseorang yang berkata, “Aku mengerti kamu pernah terluka. Tapi kamu tidak sendiri.”
Karla Wulaniyati untuk .