Sunk Cost Fallacy: Belajar dari “Aku Cinta Kau dan Dia”

banner 468x60

Malam kemarin, Kelly tiba-tiba ingin makan sate. Sebuah warung sate di jalan Durian menjadi pilihan kami. Maka kami berangkat ke sana.

Saya merasa sate di warung itu sangat lezat. Alasannya, banyak orang yang berbaris. Kening ini berkerut ketika saya mendengar bahwa masih ada sekitar 40 orang yang belum disajikan. Menurut pemilik warung, kami masih harus menunggu sekitar setengah jam untuk mendapatkan giliran kami.

Saya dan istrinya memiliki perdebatan tentang apa yang harus dilakukan. Mau menunggu atau pindah ke tempat lain.

Sayangnya (atau untungnya), perut ini sudah keroncongan, sehingga atas nama akal sehat, kami pun berpindah tempat ke penjual sate lainnya, Warung Daeng Sangkala di Jalan Gunung Merapi. Lumayan terkenal, tapi yang antri tidak sebanyak warung di Jalan Durian.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Perjalanan ke tempat tujuan tidak memakan waktu lebih dari 10 menit. Sate dibakar dan kemudian disajikan tidak lebih dari 10 menit. Kami menyantapnya dengan sangat lahap, dalam waktu 20 menit semua makanan telah habis tanpa sisa. Jika dihitung-hitung, waktu yang kami habiskan lebih singkat daripada harus menunggu di warung sate yang pertama.

Saya bersyukur, kami memilih untuk berpindah tempat. Keputusan itu adalah yang terbaik. Alasannya, kami baru saja menyadari kelemahan sebuah jebakan bernama Sunk Cost Fallacy.

Apa pula itu?

Istilah Sunk Cost Fallacy ini berasal dari dunia keuangan. Merujuk kepada kebiasaan salah berpikir pada seseorang untuk melanjutkan proyek atau investasinya, hanya karena merasa sudah terlanjur. Padahal, keputusan itu mungkin sudah tidak rasional lagi.

Dalam situasi seperti ini, paksaan untuk melanjutkan terdorong oleh keadaan yang tidak mengizinkan mundur. Usaha, uang, dan waktu sudah banyak terbuang. Merasa sedih untuk mundur atau berhenti, karena sudah banyak usaha yang telah dikerahkan.

Semangat yang begitu kuat yang dipicu oleh kepercayaan diri yang kuat juga mendukungnya. Harapannya adalah situasi akan membaik, meskipun perkiraannya sudah agak menengah.

Tapi, pelajaran ini tidak hanya dari sisi keuangan saja. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan jebakan Kesalahan Biaya Tenggelam ini di sekitar kita. Bahkan, tanpa kita menyadari, kita mungkin adalah salah satu pelakunya.

Bayangkan, apa yang terjadi jika kami memutuskan untuk tetap berada di warung pertama? Jelas, harus meluangkan waktu satu jam lebih lama. Serial Netflix yang sedang saya tonton mungkin harus menunggu lebih lama. Ini belum termasuk tenaga yang terkuras akibat menunggu dan kesabaran yang akan lenyap akibat keroncongan.

Tapi, demi kelezatan sate, kami harus bersabarlah.

Kata orang Makassar, takkala mi ditumbuk, berubah menjadi adonan.

Untungnya hanya tentang sate. Bagaimana jika situasinya lebih kompleks seperti kisah nyata yang pernah saya dengar seperti ini.

Ada pasangan kekasih yang telah menetapkan tanggal pernikahan. Namun, di beberapa bulan terakhir, mereka merasa tidak cocok lagi. Karena keputusan bersama, mereka memutuskan untuk tidak menikah. Tetapi, keluarga dari calon pengantin marah-marah. Mereka mengatakan, undangan sudah diberitahukan, biaya restoran pun sudah dibayar dengan sepenuhnya, dan gengsi keluarga dipertaruhkan.

Akhirnya, setelah melalui diskusi panjang, acara pernikahan tetap dilangsungkan, tetapi hanya simbolis saja. Setelah malam pertama yang gagal, keesokan harinya, proses perceraian mulai dilakukan.

Jadi, siapa pun yang terlibat dalam keputusan itu, jelas mereka terperangkap dalam jebakan kesalahan biaya yang hilang. Atas nama usaha, uang, dan harga diri, pernikahan palsu tetap dilangsungkan. Padahal keputusan tersebut seharusnya tidak dipengaruhi oleh apa yang sudah terlanjur diinvestasikan, melainkan oleh manfaat atau kerugian yang mungkin terjadi di masa depan.

Bahaya yang mungkin tersembunyi di sekitar kita.

Saya harus mengakui, setelah saya memikirkan kembali. Saat ini saya banyak terjebak dalam berbagai situasi yang mendorong saya untuk berpikir yang salah.

Contohnya, saya masih menunggu tukang atap yang tidak ada kabarnya lagi, karena saya sudah membayar uang muka. Padahal, musim hujan telah membuat plafon rumah saya semakin berlumut.

Contohnya lagi, istrinya masih menyimpan baju kesukaannya yang sudah tidak muat di tubuhnya. Dia berpikiran bahwa suatu saat tubuhnya akan kembali seperti masih perempuan muda dulu.

Saya masih berharap jika teman atap saya mau menjawab teleponku. Istriku masih berharap ia menemukan obat diet yang bisa mengembalikan keadaannya seperti dulu. Padahal, solusi yang paling cerdas dan rasional adalah mencari atap baru. Sementara, istri saya cukup menghibahkan baju kesayangannya kepada Kelly.

Dua contoh sederhana ini seharusnya sudah cukup mewakili.

Jadi, apa yang sungguh-sungguh terjadi?

Kembali ke teori ekonomi. Di sana, disebutkan bahwa seseorang bisa terperangkap dalam keputusan Sunk Cost Fallacy karena adanya bias psikologis yang membuat mereka sulit melepaskan diri dari jebakan tersebut.

Alasan pertama adalah Ketidaksukaan terhadap Kerugian.

Istilah ini mengacu pada keadaan di mana kerugian lebih menyakitkan daripada keuntungan.

Lalu, ada Konflik Kognitif (Ketidaksesuaian Pikiran)

Seseorang tidak suka disalahkan atas pilihan mereka. Akhirnya, mereka mempertahankan pilihan yang salah karena mereka yakin itu yang terbaik.

Ketiga, Efek Donatur (Rasa Kepemilikan)

Ini milikku! Ada nilai sejarahnya, hasil karyaku, warisan untuk cucuku. Semua keputusan ini harus tetap dipertahankan, meskipun saya harus mengorbankan segalanya. Seperti ini.

Dan, yang terakhir adalah Optimisme yang berlebihan

Setiap manusia memiliki kepercayaan bahwa mereka bisa mengubah situasinya. Sayangnya, optimisme ini sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini akan semakin parah jika diimbangi dengan kepercayaan lainnya bahwa situasinya akan membaik di masa depan.

Lalu, apa yang harus dilakukan kemudian.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kesalahan keputusan ini terjadi karena adanya bias psikologis atau kecenderungan penyimpangan dalam berpikir. Oleh karena itu, cara yang paling baik yang dapat dilakukan adalah kembali ke cara berpikir yang sehat.

Tapi, bagaimana caranya?

Baiklah, tiga hal sederhana ini mungkin bisa membantu Anda berpikir logis. Saya singkat dalam sebuah istilah unik yang saya pinjam dari lagu Ahmad Dhani, kesukaanku, yakni: Aku, Kau, dan Dia

Aku

Saya ingin membicarakan tentang keakuan. Maksudnya ego yang dimiliki oleh setiap orang. Sayangnya, ego inilah yang seringkali membuat kita berpikir tidak rasional. Dengan menggunakan nama “Saya”, semua yang salah jadi benar. Dengan menurunkan ego, Anda bisa melihat dari sudut pandang yang lebih jernih.

Kau

Selain “Aku” ada juga “Kau.” Ini mengingatkan kita untuk memisahkan hal emosional yang bisa mengendalikan kita dengan keputusan yang rasional. Artinya, tanyakan sebelum terlanjur jatuh lebih dalam.

Dia

Jika sudah ada “Aku” dan “Kau,” maka terkadang “Dia” pun bisa dilibatkan. Artinya, setiap keputusan bisa saja dibatalkan dan memilih opsi lain yang mungkin lebih bermanfaat. Cobalah bandingkan dengan alternatif lain, apakah keputusan kita masih layak dipertahankan.

Ah, saya sangat menyukai lagu “Aku Cinta Kau dan Dia”, meskipun sebenarnya lagu itu bertema perselingkuhan. Jika istrinya mendengarnya, saya jelas dalam bahaya besar.

Tapi, tidak apa-apa. Dalam membuat keputusan, terkadang masalah perselingkuhan harus dipertimbangkan.

Karena, jika kita terlalu setia pada sebuah keputusan, maka hidup akan membosankan dan Anda akan mati perlahan-lahan. Kadang-kadang melirik milik tetangga, bukanlah hal yang melanggar. Bukankah benar bahwa rumput tetangga lebih hijau dari rumput di rumah? Tentu saja, apalagi jika rumput itu sudah tua, tidak terurus, dan tidak bermanfaat.

Kenapa tidak?

Tidak usah kamu menyebut-nyebut tentangnya kepada istrinya.

**

Acek Rudy for www.kabarpati.com

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *