Kesulitan Menentukan? Ini Dia Cara Tepat Berikan THR Kepada Keponakan Anda

banner 468x60



– Sejak mulai bekerja, Bibil (24) senantiasa berupaya menyediakan tunjangan hari raya (THR) guna diberikan kepada keponakannya.

Wanita asal Bekasi, Jawa Barat, yang saat ini bertugas di Sukoharjo, Jawa Tengah, bersedia menyisihkan kurang lebih 15% pendapatannya tiap bulan untuk mempertahankan kebiasaan berbagi pada waktu Idul Fitri.

Sesungguhnya terdapat suatu ketidaknyamanan dalam diri Bibil. Di samping kegembiraan dari proses memberi, dia ternyata juga harus menangani beberapa hambatan yang lumayan besar.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Mengingat jumlah cucu yang semakin banyak serta biaya pulang kampung yang naik setiap tahunnya, pengaturan tunjangan hari raya sering kali menjadikan tekanan tambahan.

Awalnya dia berniat menghantarkan Rp 100.000 kepada setiap keponakannya di hari Lebaran tahun 2025 ini. Tetapi kemudian dia bertimbang-timbang lagi karena jika dibagi menjadi sepuluh bagian akan mencapai nilai total sebesar Rp 1 juta.

Menurutnya, angka itu sudah termasuk signifikan, mempertimbangkan bahwa gajinya sesuai dengan standar upah di Jawa Tengah.

“Sebetulnya tidak sulit jika hanya ada satu atau dua anak keponakan. Namun, dengan sepuluh orang yang harus diurus, rasanya agak melelahkan,” katanya sembari menggelengkan kepala penuh tawa pada hari Sabtu (22/3/2025).

Agar dapat mengelola uang dengan baik, dia pun kemudian mempartisi tunjangan hari raya sesuai dengan umur dari setiap keponakannya.

Akan diberikan kepada delapan keponakan yang masih anak-anak sejumlah uang Rp 50.000,- setiap orangnya. Sementara itu, untuk kedua keponakan lainnya yang telah menginjak usia remaja dan mulai bekerja, tiap-tiap mereka mendapatkan uang saku sebesar Rp 100.000,-.

Di samping Tunjangan Hari Raya untuk keponakannya, dia juga perlu merencanakan dana untuk biaya pulang kampung, penginapan di Bekasi yang harganya lebih tinggi daripada tempat tinggalnya di Sukoharjo, dan keperluan rumah sebelum lebaran.

“Biaya perjalanan pulang-pergi saja sudah cukup besar. Selain itu, tempat menginap di sana pun tak sehemat di Sukoharjo. Di Bekasi, biaya ojek online dari stasiun menuju rumah ternyata dapat mencapai antara Rp 60.000 hingga Rp 70.000,” ucapnya ketika sedang asik bercengkramaengan.
di Solo.

“Bayangkan saja, setelah perjalanan pulang kampung yang jauh, lelah, dan biayanya pun cukup tinggi,” kata Bibil sambil mengeluarkan nafas dalam-dalam.

Selain itu, Bibil juga tetap menabung untuk memberikan Tunjangan Hari Raya kepada kedua orangtuanya dan mengantisipasi keperluan rumah sebelum lebaran.

Sebagai pemilik rumah ketika berkumpul dengan keluarga, wanita tersebut berpikir dia juga perlu menyediakan kue Lebaran di atas meja dan memberikan dana untuk membeli perlengkapan masak.

Belum termasuk itu semua, sebagai seorang anak perantuan, terkadang ia harus merogoh koceknya untuk memenuhi kebutuhan rumah tak terduga.

“Kenapa menjadi beban? Sebab saat kembali, aku perlu merogoh kocek lebih dalam untuk biaya transportasi, makan di tempat tersebut, dan jika ada keponakanku yang meminta uang jajanan berbagai macam hal, ditambah dengan bonus hari raya,” katanya.

Dia juga memperhitungkan bahwa biaya pulang kampung tahun ini bertambah sebesar satu juta rupiah dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sesuai dengan peningkatan harga bahan bakar minyak (BBM) serta tarif angkutan.

Walaupun membagi THR dirasakan cukup menyulitkan, Bibil tetap bertekad untuk melanjutkan usahanya. Dia setuju dengan ide pemberianTHR diterapkan dalam keluarga mereka. Bagi Bibil, ini adalah cara untuk berbagi serta ungkapan cinta dan kepedulian pada kerabatnya.

Dia sendiri telah berhenti mendapatkanTHR sejak tahun lalu. Namun, Bibil masih ingin menjaga kebiasaan tersebut.

” tidak ada aturan yang mengharuskan saya memberikan THR. Namun, karena cinta pada keponakan, akhirnya saya beri saja,” katanya.

Bibil mungkin tidak sendiri dalam mengalami pengaruh dari tradisi THR dan peningkatan biaya pulang kampung yang semakin memberatkan beban.

Menurut hasil survei Kementerian Perhubungan (Kemenhub), perkiraan jumlah pemudik Lebaran 2025 ternyata akan berkurang sebesar 24% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di tahun tersebut, diperkirakan hanya ada 146,48 juta jiwa atau kisaran 52% populasi Indonesia yang akan melakukan perjalanan pulang. Sementara itu, pada tahun 2024 lalu, angka prediksinya mencapai 193,6 juta pemudik.

Banyak karyawan mungkin pada akhirnya memutuskan untuk tidak pulang kampung agar bisa menekan biaya pengeluaran.

Konsep THR meluas

Ketika ditanya pendapatnya, Dosen Sosiologi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono, menyatakan bahwa memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada keponakan merupakan pengembangan dari ide awal THR yang diperuntukkan untuk hubungan produsif.

THR pada dasarnya adalah kompensasi yang disampaikan oleh pemilik modal kepada para pekerjanya.

“Konsep awalnya memang berkembang dari ide dasarnya, yakni memberikan tambahan insentif oleh satu pemilik modal atau pemerintah kepada karyawannya. Saat ini, THR telah diterapkan dalam struktur yang lebih sempit, yaitu lingkungan keluarga,” jelasnya pada hari Jumat (14/3/2025).

Menurut kebiasaan yang telah terbentuk, uang tunai lebaran umumnya diserahkan oleh anggota keluarga yang memiliki penghasilan kepada kerabat yang lebih muda atau sedang menuntut ilmu di sekolah serta anak-anak kecil.

Tidak seperti di tempat kerja, memberikan Tunjangan Hari Raya di dalam keluarga pastinya tidak memiliki peraturan yang ditetapkan secara formal.

Menurut Drajat, seharusnyaTHR menjadi tanggungan pemilik modal untuk para pekerjanya dalam sistem produksi.

Pada era Kerajaan Mataram Islam serta ketika berkuasanya Belanda, uang hari raya atau THR diserahkan oleh para bangsawan secara ikhlas dan sukarela. Pemberian THR pada waktu itu bukanlah suatu kewajiban.

Terkait dengan ini, THR tidak dikirimkan kepada keluarga dekat. Dradjat juga menganggap bahwa tradisi tersebut sebenarnya bukan bagian dari THR ketika diinterpretasikan melalui pengertian istilah “tunjangan” yang terdapat dalam akronim THR.

Berdasarkan pendapat saya, memberikan uang kepada keponakan dan kerabat tersebut bukan termasukTHR. Hanya saja kita menyesuaikan istilahnya saja. Sebab, arti dari THR adalah tunjangan hari raya. Jadi, jika seseorang memilih untuk tidak memberi pun sebenarnya tidak masalah.
kan
sukarela memberi,” imbuh Drajat.

Untuk sejumlah orang, peregahannya memperluas makna THR sesuai dengan norma-norma keluarga seringkali malahan menjadikannya tanggung jawab tambahan. Mereka berpendapat bahwa mereka wajib mengalokasikan dana untuk mentransfer uang tunai sebagai kado ke pada saudara dan keluarga.

Sebenarnya, mengacu pada catatan historis, Drajat menegaskan bahwa THR merupakan suatu bentuk hibahan yang disampaikan dengan tulus ikhlas.

Asal-usul THR: diserahkan sebagai pemberian

Pembagian Tunjangan Hari Raya diketahui telah berlangsung sejak era Kerajaan Mataram Islam, yakni antara abad ke-13 hingga ke-16 atau kira-kira dari tahun 1500-an sampai 1700-an.

Tradisi Tunjangan Hari Raya sebelum Idul Fitri datangnya masih menjadi teka-teki. Akan tetapi, diyakini bahwa hal tersebut berawal di wilayah Timur Tengah; walaupun begitu, bukti konkret untuk mendukung pendapat ini sangatlah terbatas.

Pemantau kebudayan dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret Surakarta, Tundjung Wahadi Sutirro, mengusulkan bahwa memberikan Tunai Hari Raya (THR) adalah hasil akulturasi budaya Islam yang berasal dari Timur Tengah. Pemberian hadiah ini dilakukan untuk menandai perayaan kegembiraan atas hari kemenangan usai satu bulan menjalani puasa.

Pada era Kerajaan Mataram Islam, uang tunai hari raya (THR) diserahkan oleh sang raja kepada para abdi dalem sebagai tanda apresiasi untuk dedikasi mereka dalam kerangka hubungan ”
patron-client relationship
” di birokrasi feodal.

Dalam catatan historis, THR pada dasarnya berasal dari kebiasaan derma tournansi yang dilakukan oleh penguasa terhadap warganya. Mulai zaman kerajaan Praja Kejawen semacam Mataram Islam, pegawai negeri dan rakyat di dalam praja senantiasa mengharapkannya.
paringan dalem
atau dikenal pula sebagai
kekucah
Dari para raja pada momen perayaan agama khususnya untuk menyambut Idul Fitri,” jelas Tundjung kepada Jumat.

Meskipun demikian, terdapat perbedaan pandangan mengenai jenis THR yang seharusnya diberikan. Beberapa pakar meyakini bahwa di masa lalu THR diserahkan dalam wujud barang kebutuhan pokok seperti makanan dan perlengkapan rumah tangga. Sementara itu, kelompok lain memandang bahwa THR lebih tepat jika diberikan secara tunai.

Dilansir dari laman
UNAIR
Pakar Antropologi dari Universitas Airlangga, Djoko Adi Prasetyo, menyebut bahwa raja-raja dan bangsawan memberikan uang baru sebagai hibah untuk anak-anak pendukung mereka di hari Idul Fitri.

Gift itu dikasihkan sebagai ungkapan rasa bersyukur saat merayakan hari besar, terlebih berkaitan dengan pencapaian mereka selama menjalankan ibadah puasa di sepanjang bulan Ramadhan.

Akhirnya, pembagian tunjangan hari raya justru bertransformasi menjadi suatu kebiasaan yang terkait erat dengan uang segar.

Dalam era kontemporer, masyarakat berebut-menukar mata uang lama dengan yang baru guna mendapatkan THR.

Pada tahun ini, Bank Indonesia (BI) telah mengatur persediaan uang beredar sebesar Rp 180,9 triliun guna mencukupi permintaan akan mata uang baru dari publik. Terlebih lagi, bisnis jasa tukar-menukar uang pun kian banyak bermunculan menjelang Hari Raya Iduladha 2025.

Pada zaman kolonial, kebiasaan memberi tunjangan hari raya diberlakukan oleh para tuan Belanda kepada karyawan yang bekerja di Hindia Belanda. Hal ini bertujuan agar pekerja memiliki uang ekstra untuk digunakan dalam membelanjakan diri pada saat peringatan Hari Raya.

Pemilik modal mengerti bahwa menjalani hari raya Idul Fitri membutuhkan pengeluaran cukup besar, mencakup pembelian makanan dan pakaian baru.

THR menjadi kebiasaan terstruktur yang diatur

Tradisi memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) telah diatur dalam peraturan sejak masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Pada saat tersebut, ide tentang THR mulai berkembang selama kepemimpinan Soekarno.

Tahun sekitar 1951, Perdana Menteri Indonesia keenam yaitu Soekiman Wirjosandjojo lewat kabinernya mengenalkan program kesejahteraan bagi pamong praja dengan menyediakan Tunjangan Hari Raya (THR) untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini bertujuan agar dapat memberikan tambahan penghasilan kepada para PNS yang tergabung dalam kabinet saat itu.

Begini, aturan tersebut memicu rasa cemas pada pekerja dan karyawan sektor swasta. Mereka pun ingin mendapatkan fasilitas serupa karena sudah berkontribusi bagi tanah air dan negera.

Pekerja dan karyawan swasta kemudian menggelar pemogokan kerja pada tanggal 13 Februari 1952 guna mendorong pemerintah untuk lebih peduli terhadap kondisi mereka.

Tindakan pemogokan tersebut dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap ketidakadilan karena pada masa itu sebagian besar posisi pegawai negeri sipil dipenuhi oleh golongan bangsawan, priyayi, serta kelompok elit sosial. Sementara itu, pekerja di perusahaan swasta maupun milik pemerintah menganggap kondisi kesejahteraannya kurang mendapat perhatian.

Ketidakstabilan dalam permintaan masyarakat pada saat ekonomi Indonesia cukup baik memicu perubahan penting bagi pemerintah dalam hal memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta karyawan sektor swasta. Sejak saat itu, tiap tahunnya pemerintah selalu merilis aturan baru tentang cara pengelolaan THR bagi tenaga kerja.

Tundjung menyebutkan bahwa peraturan tentang Tunjangan Hari Raya adalah teladan dari ciri khas budaya THR yang telah dilestarikan sepanjang zaman.

“THR merupakan satu-satunya harapan bagi karyawan dan Pegawai Negeri Sipil dalam menghadapi keperluan sebelum Idul Fitri. Oleh karena itu, hal ini mirip dengan fenomena latah yang akhirnya bertransformasi menjadi suatu kebiasaan terpelihara sebagai bagian dari budaya,” jelasnya.

Tundjung menyampaikan bahwa THR dulunya dikenal dengan sebutan “hadiah Lebaran”. Akan tetapi, pada era Orde Baru, tepatnya tahun 1994, pihak berwenang di Indonesia memperkenalkan istilah THR secara resmi.

Pemerintah telah menetapkan aturan tentang pembayaran THR lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 04/1994 seputar Tunjangan Hari Raya Agama. Atas dasar regulasi ini, para pengusaha diwajibkan untuk membayarkan THR ke karyawan yang sudah bekerja selama minimal tiga bulan berturut-turut. Nilai dari tunjangan hari raya ini disesuaikan berdasarkan lama waktu kerja pegawai tersebut.

Aturan terkait THR setelah itu diperbaharui pada tahun 2016 oleh Kementerian Tenaga Kerja dan sekarang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 6 Tahun 2016 perihal Tunjangan Hari Raya Agama untuk Pekerja atau Buruh di Perusahaan.

Aliran dana dari Tunjangan Hari Raya tahun 2025 mengalami penurunan

Di sisi lain, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebut bahwa pembagian Tunjangan Hari Raya (THR) pada tahun ini belum cukup untuk memacu pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Menurutnya, situasi pemberhentian pekerjaan (PHK) sebelum Hari Raya Idul Fitri bagi pegawai swasta serta keputusan penghematan anggaran dalam Kabinet Baru menyebabkan jumlah orang yang mendapatkan Tunjangan Hari Raya menjadi berkurang.

Sepanjang tahun 2024, jumlah peserta pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 77.965 orang, dan ini belum termasuk penambahan sebanyak 4.050 karyawan yang mengalami pengangguran pada awal tahun 2025.

Bhima menyebutkan bahwa pembagianTHR tiap tahun secara umum selalu disertai peningkatan biaya bahan pokok harian.

Dia menunjukkan bahwa kemampuan pembelian publik cenderung merosot selama Ramadan tahun 2025. Ini terlihat dari angka inflasi yang rendah saat bulan suci berlangsung.

Indonesia justru menghadapi deflasi dari awal tahun sampai mendekati bulan Ramadhan, dengan angka -0,76% di Januari 2025 dan -0,02% di Februari 2025. Informasi ini menunjukkan ada pengurangan dalam kebutuhan lokal, yang berarti kemampuan untuk membeli barang atau layanan tengah melemah.

“Jadi, memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) sendiri masih tidak mencukupi untuk meningkatkan kemampuan membeli masyarakat. Orang-orang pada umumnya akan lebih menghemat pengeluaran mereka sebelum Ramadhan tahun 2025,” jelasnya ketika ditemui dan ditanya.
,
Selasa (25/3/2025).

Berdasarkan pendapat Bhima, di tahun ini cukup banyak warga negara Indonesia yang lebih condong untuk berhemat meskipun telah mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR). Mereka lebih memilih menabung dana THR mereka guna mencukupi keperluan setelah peringatan Lebaran pada tahun 2025.

Sebenarnya, pemerintah sudah mencoba meningkatkan kemampuan konsumen masyarakat sebelum Idul Fitri tahun 2025 melalui beberapa insentif, termasuk distribusi bansos, potongan biaya listrik di bulan Januari-Februari 2025, harga khusus untuk tiket pesawat, pengurangan tarif jalan tol, serta diskon paket liburan.

Namun, usaha itu ditingkatkan dengan pemberian THR kepada pegawai negeri sipil dan karyawan swasta, serta bantuan hari raya (BHR) bagi driver ojek online masih dianggap tidak mencukupi untuk meningkatkan kemampuan membeli masyarakat.

“THR tidaklah menjadi satu-satunya elemen dalam merangsang ekonomi. Pihak berwenang tetap memerlukan sejumlah program sosial tambahan guna menjaga kemampuan konsumsi warga serta harus sigap mengontrol beberapa harga bahan penting,” ungkap Bhima.

Sektor manufakturing yang baru-baru ini terdampak oleh gelombang pemutusan hubungan kerja harus menjadi prioritas utama untuk diberi perhatian khusus.

Karena, sesuai pendapat Bhima, sektor manufaktur berpotensi mengakselerasi perkembangan ekonomi selama periode Idulfitri tahun 2025 dengan cara yang signifikan. Ini terlihat dari penggunaan tenaga kerja dan pembayaran upah beserta Tunjangan Hari Raya (THR), yang diperkirakan dapat memacu aliran uang pada saat Idulfitri.

Ancaman dari PHK massal, kenaikan harga barang-barang penting sampai dengan biaya untuk pulang kampung, serta pengurangan jumlah orang yang melakukan perjalanan pulang kampung tahun ini menunjukkan ada kemunduran dalam aliran dana di kalangan masyarakat.

Bidang Pengembangan Otonomi Daerah di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sarman Simanjorang, mengatakan bahwa pengurangan jumlah orang yang mudik tahun ini diyakini akan mempengaruhi arus uang selama Lebaran 2025 dengan perkiraan penurunan sebesar 12,28%.

Ia menyimpulkan bahwa bila arus uang selama Lebaran di tahun 2024 sebesar Rp 157,3 triliun, maka untuk tahun ini diperkirakan hanya akan mencapai angka Rp 137,97 triliun.

Angka tersebut didapatkan berdasarkan estimasi jumlah pemudik pada tahun ini yang mencapai 146,48 juta orang, setara dengan 36,26 juta keluarga jika diasumsikan tiap keluarga terdiri dari empat anggota.

Penurunan putaran uang bertentangan dengan situasi biasanya. Sebab, masa Lebaran umumnya dipakai sebagai cara untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi di Indonesia melalui aktivitas transaksi antara warga kota dan pedesaan.

Apabila aliran uang berkurang, ini bisa menyebabkan kondisi ekonomi di Indonesia terutama di pedesaan menjadi lebih buruk.

“Bila aliran THR ini turun dibandingkan dengan tahun lalu, maka perekonomian di wilayah tersebut dapat mengalami kekeringan,” jelas Bhima.

Menurut dia, pemerintah harus lebih dari sekadar mendistribusikan Tunjangan Hari Raya (THR), tetapi juga perlu menerapkan kebijakan yang akan memiliki dampak langsung terhadap perkembangan ekonomi di Indonesia.

Sebagai contoh, dengan tetap memberlakukan diskon tarif listrik hingga akhir tahun, menjaga pengeluaran secara bijak untuk menghindari kebijakan pengetatan anggaran, merekrut pegawai negeri sipil sesuai jadwal yang telah ditetapkan, serta mendukung semua insentif pajak berfokus pada sektor industri yang menyerap banyak tenaga kerja.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *